Belakangan ini ramai dibahas isu terkait Project S TikTok yang dianggap dapat mengancam Usaha Mikro, Kecil, Menengah (UMKM) Indonesia. Project S TikTok sendiri merupakan salah satu jenis social commerce, di mana di Indonesia belum ada regulasi yang mengaturnya.
Peneliti Center of Digital Economy and SMEs Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengatakan bahwa diperlukan kebijakan baru mengenai social commerce, mengingat kebijakan yang ada saat ini, Permendag Nomor 50 Tahun 2020 hanya mengatur regulasi e-commerce saja.
Sementara itu, social commerce, seperti TikTok Shop, Instagram Shop, atau Facebook Shop, saat ini sedang mengalami peningkatan yang pesat.
Baca Juga: Alibaba Gelontorkan Dana Rp12 Triliun ke Lazada dalam Kompetisinya dengan Shopee dan Tiktok
“Nah, kita memandang untuk saat ini bahwa perlu aturan kebijakan baru karena di Permendag Nomor 50 Tahun 2020 belum mengatur yang namanya social commerce. Social commerce perkembangannya, jujur saja, sangat pesat dalam dua atau tiga tahun terakhir. Kita kan tahu ada Instagram Shop, kemudian ada Facebook Shop, terus kemudian sekarang yang lagi booming adalah TikTok Shop,” ujarnya dalam diskusi virtual Project S TikTok Shop: Ancaman atau Peluang? yang diselenggarakan INDEF, Senin (24/7/2023).
Ia menyebut kebijakan baru mengenai social commerce tersebut perlu dibuat mengingat perkembangannya yang begitu pesat. Dibutuhkan peraturan yang sama dengan industri serupa, seperti e-commerce dan ritel offline, sehingga ketiga industri tersebut berada di level persaingan yang sama.
“Hal ini untuk menjaga level playing field yang sama antara social commerce dan e-commerce. Mereka kan sama-sama menjual barang melalui online industry, dan ritel offline pun sama kan, menjual barang. E-commerce dan ritel offline sudah ada peraturan yang sama, sudah ada pajak dan lain sebagainya. Nah, social commerce belum ada peraturannya sama sekali di Indonesia. Jadi, ini yang kita butuhkan, sehingga level playing field yang sama antara social commerce dan e-commerce itu terjaga,” paparnya.
Huda menjelaskan bahwa ada tiga hal yang harus ditekankan dalam revisi kebijakan tersebut. Pertama adalah penyempurnaan definisi Penyelenggaraan Perdagangan melalui Sistem Elektronik (PPMSE).
“Yang pertama adalah penyempurnaan definisi Penyelenggaraan Perdagangan melalui Sistem Elektronik atau PPMSE. Nah, kalau PPMSE ini hanya mengatur transaksi perdagangan, artinya platform yang ada transaksi perdagangan. Nah, karena social commerce ini bukan platform transaksi perdagangan, ini mereka lepas dari Permendag Nomor 50 Tahun 2020,” bebernya.
Kedua, perlu ada peraturan terkait dengan Penyelenggaraan Sarana Perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jual-beli.
“Pada dasarnya, social commerce menyelenggarakan komunikasi antara orang. Nah, ini yang seringkali penyelenggara sarana perantara dijadikan kedok social commerce, mereka buka tempat jual-beli, tapi komunikasi antara penjual dan pembeli terjadi di social media tersebut. Contohnya, dulu kan ada forum jual-beli di kaskus dan sebagainya. Nah, itu sebenarnya kan penyelenggara sarana perantara, dan ini seharusnya diatur juga secara lebih rinci di Permendag. Kalau bisa ini juga disamakan dengan beberapa aturan yang ada di e-commerce, seperti pajak dan sebagainya,” sarannya.
Ketiga, peraturan mengenai barang impor, di mana harus ada deskripsi barang di setiap jendela barang.
“Yang ketiga, peraturan mengenai barang impor, di mana harus ada di deskripsi barang di setiap jendela barang. Nah, ini yang harus kita ketahui bersama, kalau mungkin idenya tuh selalu mengangkat crossboarder, itu cuman 7%-10% gitu. Tapi, kalau kita lihat secara lebih rinci, barang-barang yang dijual oleh seller lokal adalah barang-barang impor juga. Jadi, kita harus bisa membedakan antara barang yang dijual tuh impor sama barang yang langsung dari luar. Nah, ini harus ada di setiap deskripsi barangnya,” jelasnya.
Baca Juga: Desak Pemerintah Lindungi UMKM, Project S TikTok Muncul di Sidang Paripurna DPR