Perusahaan konsultan global, Ernst & Young (EY) Parthenon Indonesia dan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) meluncurkan riset berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia. Hasilnya, terdapat empat segmentasi UMKM, yakni kelompok bisnis prospektif, kelompok kebutuhan dasar, kelompok bisnis konvensional bertahan, dan kelompok bisnis unggul.
Secara umum, hasil riset tersebut dirancang untuk melengkapi segmentasi yang sudah ada oleh pemerintah agar lebih sesuai dengan tujuan anggota AFPI untuk memahami pasar dan sifat pengembangan UMKM di Indonesia.
Pertama, kelompok bisnis prospektif adalah bisnis skala ultramikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan tinggi, dan memiliki potensi kemampuan perencanaan bisnis.
Baca Juga: Perusahaan Teknologi Punya Peran Besar dalam Dukung UMKM Indonesia Go Regional
Kedua, kelompok kebutuhan dasar adalah bisnis skala ultramikro dan mikro dengan literasi digital dan keuangan rendah, serta menghasilkan potensi risiko pembiayaan yang lebih tinggi.
Ketiga, kelompok bisnis konvensional bertahan adalah bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan rendah, dan hanya berfokus pada mempertahankan kondisi status quo mereka.
Keempat, kelompok bisnis unggul adalah bisnis skala kecil hingga menengah dengan literasi digital dan keuangan tinggi, serta memiliki daya tarik tertinggi dalam hal pendanaan.
Segmentasi ini dirancang unutk melengkapi segmentasi UMKM yang sudah ada, atau yang dikelompokkan berdasarkan modal usaha dan pendapatan per tahunan (annum) sesuai PP Nomor 7 Tahun 2021.
Selain itu, segmentasi baru juga mengakomodasi jumlah karyawan, tingkat maturitas digital dan finansial, dan tipe industri, baik itu manufaktur atau servis di UMKM. Hasilnya, ini semua dapat memperluas cakupan pemahaman profil dan perilaku UMKM dan mendorong pembentukan kebijakan dan penetrasi pembiayaan lebih akurat di masa mendatang.
Terkait tingkat maturitas digital dan finansial, Partner EY Parthenon Indonesia, Strategy and Transactions, Anugrah Pratama membeberkan bahwa pihaknya mengategorikan empat hal tersebut melalui parameter besar, yakni tingkat maturitas digital dan finansial tersebut.
“Premisnya adalah, mereka yang memiliki kemampuan finansial literasi tersebut, ketajaman bisnisnya lebih baik, dan literasi digital yang lebih baik, itulah yang akan memiliki kecenderungan akan mengembangkan bisnisnya ke depan dan menggunakan instrumen-instrumen pendanaan yang disediakan oleh AFPI,” jelas Anugrah di acara peluncuran riset tersebut pada Jumat (14/7/2023) di Jakarta.
Terkait jumlah UMKM di Indonesia, yakni 65 juta UMKM, Anugrah sendiri mengakui bahwa membuat segmentasi dalam penelitian ini cukup kompleks. Bahkan, ia menyebut ada satu kelompok yang tidak bisa diidentifikasi oleh empat segmentasi tersebut, yang ia sebut “tidak teridentifikasi" (unidentified).
"Ada yang kami sebut sebagai phantom atau hantu. Tidak bisa kami identifikasi, dan itu besarnya cukup signifikan,” ujarnya.
Anugrah menyebutkan, sekitar 25% UMKM belum dapat dimasukkan dalam empat segmentasi tersebut. Meski demikian, segmentasi tersebut dapat menjawab sejumlah kemungkinan risiko pembiayaan khusus per klaster yang membutuhkan serangkaian intervensi kebijakan berdasarkan tingkat urgensi.
“Oleh karena itu, pengambilan langkah yang tepat sangat penting agar pembiayaan tidak salah sasaran dan terhindar dari kesenjangan yang semakin besar,” katanya.
EY memproyeksikan total kebutuhan pembiayaan UMKM pada 2026 akan mencapai Rp4.300 triliun dengan kemampuan suplai hanya Rp1.900 triliun. Artinya terdapat selisih atau kesenjangan sebesar Rp2.400 triliun dari total kebutuhan pembiayaan.
Permintaan beserta suplai bertumbuh dengan laju pertumbuhan hampir sama, yakni Compound Annual Growth Rate (CAGR) ~7,2% dari tahun 2022 hingga 2026. Inilah yang menyebabkan selisih pembiayaan juga bertumbuh dengan laju CAGR ~7%, sehingga kesenjangan akan terus melebar karena laju pertumbuhan yang masih positif.
Anugrah mengatakan, kesenjangan yang terus melebar terjadi jika “kondisi pasokan pembiayaannya tetap sama tanpa dibarengi kebijakan pendukung tambahan.”
Baca Juga: Riset AFPI dan EY: UMKM Butuh Pembiayaan hingga Rp4.300 Triliun pada 2026
Pada akhirnya, insentif pendanaan yang menarik akan mendorong peningkatan pasokan pembiayaan. Artinya, perusahaan teknologi berbasis pinjaman (fintech lending) dapat memainkan peran lebih besar karena tingkat risiko dan aksesibilitas platform yang lebih cocok dengan UMKM.