Minggu, 24 November 2024 Portal Berita Entrepreneur

Sekarang Saatnya Bisnis Kafe dan Resto Kembali Bangkit

Foto Berita Sekarang Saatnya Bisnis Kafe dan Resto Kembali Bangkit
WE Entrepreneur, Jakarta -

Dua tahun lebih, pandemi covid-19 yang melanda dunia. Selama itu pula, industri kafe dan restoran mengalami pukulan berat. Sejumlah pembatasan aktivitas sosial jadi faktor utama anjloknya industri ini, sekalipun pengusaha banyak yang berusaha mengompensasi penurunan income dengan menggenjot penjualan secara online. 

Sekarang, setelah angka kasus covid-19 mulai melandai dan relaksasi pembatasan kegiatan masyarakat diterapkan pemerintah, rasa optimisme akan bangkitnya industri kafe dan resto pun kembali membuncah.

Bisnis kafe dan resto untuk dine in alias makan di tempat pun diyakini punya prospek yang bagus, seiring dengan keinginan banyak orang yang ingin kembali bersosialisasi seperti dulu, setelah sekitar dua tahun harus menahan keinginan tersebut. 

Baca Juga: Capai 14,5 Juta KUMKM, KemenkopUKM Ajak Seluruh Stakeholder Dukung Pendataan 2022

Para pelaku usaha pun bisa menjalankan bisnis offline yang kembali punya potensi besar dengan sistem online yang dibangun untuk beradaptasi dengan zaman dan hantaman pandemi. Menurutnya, digitalisasi di bisnis ini memang suatu keniscayaan yang harus dilakukan. Tapi, potensi pasar dine in setelah pandemi juga tak bisa diabaikan begitu saja. 

“Sekaranglah saatnya untuk kembali menjalankan bisnis kafe dan resto secara offline lagi. Gak ada salahnya sistem online dan offline berjalan simultan,” kata Ketua Bidang Pelatihan Bisnis Apkulindo (Asosiasi Pengusaha Kuliner Indonesia) Pusat Giri Buana dalam Webinar bertajuk ‘Mengulik Kiat Bangkit Usaha Kafe & Restoran di Era Pandemi yang digelar Validnews, Rabu (30/3/2022). 

Ia memastikan, regulasi PPKM yang membatasi kegiatan masyarakat menjadi faktor utama yang mengahambat jalan nya bisnis kafe dan resto. Nah, di awal 2022, setelah semuanya sudah dilonggarkan, potensi dibisinis ini kembali membesar. 

“Ini kesempatan, karena salah satu pangsa pasar terbesar adalah beraktifitasnya anak sekolah dan kantor. Itu membuat kami optimistis untuk kembali membangun bisnis kuliner. Asal punya konsep dan target market yang jelas,” serunya.

Baca Juga: MenKopUKM: Sarinah Jadi Rumah Bagi UMKM untuk Menjadi Lebih Berkelas

Untuk diketahui, sepanjang 2019, sebelum terjadi pandemi, total Usaha Penyedia Makan Minum di Indonesia sejumlah 4.008.927 usaha. Jumlah tersebut terdiri dari 12.602 usaha skala menengah besar (UMB) dan 3.996.325 usaha skala menengah kecil (UMK). 

Selama tahun tersebut, akumulasi pertumbuhan industri makanan minuman (mamin) berhasil menyentuh 7,78% (cumulative to cumulative/coc). Namun, pertumbuhan itu tiba-tiba terganggu covid-19, sehingga pada 2020 industri mamin nasional hanya tumbuh 1,58% (coc).  

“Selain alasan menjaga kesehatan, penurunan pertumbuhan industri mamin tersebut kami prediksi juga terjadi karena masyarakat mengurangi pengeluaran. Hal ini merupakan hasil analisis kami berdasarkan penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) dan peningkatan total simpanan bank pada awal 2022,” kata Rikando Somba, CEO Pusat Riset Visi Teliti Saksama.

Hal ini sejalan dengan data Lembaga Penjain Simpanan (LPS) Per Januari 2022 yang menyebutkan nilai total simpanan bank umum tercatat sebesar Rp7.439 triliun. Jumlah tersebut naik sebesar Rp800,4 triliun atau bertambah sebanyak 12,06%(YoY).

 Pertumbuhan jumlah simpanan itu menurutnya tak terlepas dari masih adanya sikap yang terpecah di masyarakat.  Di satu sisi, ada kelompok masyarakat yang optimistis, kondisi sudah aman dan pandemi segera berakhir Di sisi lain, masih ada kelompok masyarakat yang masih kahawatir dengan pandemi.

Uniknya, dari hasil survei yang ada, kata Rikando, dua kelompok ini sama-sama punya keinginan untuk keluar menikmati kuliner secara dine in di kafe atau resto utuk melepas penat. Sikap inilah yang menjadi potensi besar dari binis kafe dan resto secara offline.

Baca Juga: Jangan Hanya jadi Penonton, Jokowi Minta UMKM Banjiri Produk di Marketplace

“Dari dua kelompok ini, ada satu kesamaan, sama-sama sebenarnya ingin keluar menikmati kuliner, berwisata dan sebagainya. Dari beberapa segmen responden yang kami riset, ada yang menghabiskan 1-5 juta per bulan per individu untuk wisata kuliner atau ngopi. Bahkan ada yang sampai menghabiskan Rp30 juta meskipun jumlahnya hanya 3%,” tutur Rikando. 

Kesamaan lainnya, sekalipun berani untuk berkunjung ke kafe atau resto dan makan secara dine in, mayoritas dari kedua kelompok tersebut, sama-sama punya sikap mementingkan protokol kesehatan dengan menggunakan masker atau menggunakan hand sanitizer. 

“Uniknya, ada faktor keramaian sebagai penentu. Ketika melihat satu kafe yang akan dikunjungi, kapasitasnya lebih dari 75%, sebanyak 88,39% responden memilih membatalkan niatnya untuk berkunjung dan mencari lokasi lain,” imbuhnya.

Genjot Digitalisasi 

Sementara itu, di tengah fokus untuk menggarap potensi bisnis kafe dan resto konvensional, Destry Anna Sari Asisten Deputi Konsultasi Bisnis dan Pendampingan Deputi Bidang Kewirausahaan Kemenkop UKM mengingatkan, para pelaku UMKM khususnya di sektor kuliner untuk serius melakukan digitalisasi usaha. 

Ia menyebut, saat ini ada 64,2 juta UMKM di Indonesia. Jumlah tersebut mencakup 99,9% usaha di nusantara. Sayangnya, dari 99% populasi usaha, hanya 18,83% yang sudah terhubung secara digital.

“Sektor kuliner merupakan potensial winner di masa pandemi, apalagi yang memperhatikan aspek kesehatan, ramah lingkungan dan berbasis alam,” ujarnya. 

Baca Juga: Dorong Perbaikan Produk dan Digitalisasi, KemenkopUKM Minta UMKM Manfaatkan PLUT

Dengan digitalisasi yang dijalankan, ia pun mengatakan, para pelaku UMKM kuliner bisa punya akses pasar yang lebih luas. Bahkan, bisa mengakses pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online. Ia menjamin, saat ini pemerintah akan memprioritaskan produk lokal khususnya dari UMKM untuk mengisi kebutuhan barang dan jasa pemerintah.

“Pengadaan barang dan jasa pemerintah nilainya sampai Rp400 triliun pertahun. Termasuk ada kebutuhan makanan dan minuman di situ. Resto dan kafe bisa menawarkan paket-paket makanan dan minuman untuk acara pemerintah,” kata Destry.

Giri Buana pun sepakat, digitalisasi tak bisa diabaikan begitu saja oleh pelaku usaha kuliner sekalipun efek pandemi sudah mulai mereda. 

“Pandemi mengajarkan kita untuk pintar melakukan efisiensi. Konsep ghost kitchen buat usaha kuliner misalnya, memangkas banyak investasi dan overhead cost. Makanya itu sangat berkembang di luar negeri. bukan sekadar karena ada pandemi tapi memang sudah saatnya era seperti ini,” ujarnya. 

Selain itu, ia juga menyarankan para pelaku usaha kafe dan resto untuk terus berinovasi pada produknya. 

“Jangan terlalu yakin produk kita sudah kuat. Inovasi tetap perlu. Jangan pikir sudah go digital dengan daftar di GoFood atau GrabFood kita tinggal duduk manis. Banyak hal teksnis yang harus kita kuasai, seperti foto produk dan grafis yang bagus di online, ” serunya.

Terakhir, ia mengingatkan para pelaku usaha kuliner untuk memperhatikan standarisasi produk makanan dan minumannya. 

“Meski diusaha kafe dan resto ada sesuatu yang bisa kita jual seperti kenyamanan, estetika atau suasana outdoor, produk makanan tetap penting. Kalau enak mereka akan kembali dan enaknya itu harus konsisten (terstandar),” pungkasnya.

Tag: Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), Digitalisasi, Bisnis

Penulis/Editor: Annisa Nurfitri

Foto: Antara/Rivan Awal Lingga