Bukalapak akan menjadi unicorn teknologi pertama di Indonesia yang terdaftar di bursa sahamnya, meski profit masih belum terlihat. Promosi Rachmat Kaimuddin menjadi CEO perusahaan e-commerce Bukalapak awal tahun lalu mengejutkan banyak orang, termasuk Rachmat Kaimuddin sendiri.
Ia dipilih investor perusahaan melihatnya sebagai orang yang tepat untuk menghentikan arus tinta merah dan menempatkan perusahaan berusia 11 tahun itu di jalur profitabilitas.
Namun baru dua bulan menjabat, semuanya berubah. Pandemi mulai menyebar ke seluruh Indonesia, dan lebih dari 2.000 karyawan perusahaan beralih ke kepala eksekutif baru mereka untuk mencari jawaban.
Baca Juga: Bukalapak IPO, Ini Profil Achmad Zaky: Lulusan ITB yang Bakal Jadi Triliuner Muda Indonesia
“Bagi sebagian besar rekan saya, pandemi Covid-19 mungkin adalah krisis nyata pertama yang harus mereka hadapi di masa dewasa mereka,” ujar Rachmat Kaimuddin, yang berusia 42 tahun.
Dikutip dari Forbes di Jakarta, Jumat (23/7/21) Rahmat mengaku merasa terlalu tua bagi rekan-rekan lainnya yang bahkan baru lahir pada krisis 1997, atau masih kecil saat krisis 2008. Karena itulah, berkat pengalaman tersebut, Rahmat mampu menghadapi krisis Covid-19 ini.
Lulusan MBA dari Stanford University ini pun membawa Bukalapak ke arah yang benar. Pasar online dapat terus beroperasi karena transaksi melonjak selama PSBB hingga PPKM yang mengharuskan semua karyawan Bukalapak untuk bekerja dari rumah.
Dan kini perusahaan tersebut akan menjadi unicorn teknologi Indonesia pertama yang terdaftar di bursa saham negara. Bukalapak pun berhasil mengumpulkan USD1,5 miliar (Rp21,7 triliun) dalam penawaran umum perdana terbesar di Indonesia.
Bukalapak memberi harga sahamnya masing-masing Rp850 rupiah, memberi perusahaan penilaian sekitar USD6 miliar (Rp87 triliun) dan akan mulai diperdagangkan pada 6 Agustus.
Pendapatan Bukalapak melonjak 25,5% tahun lalu menjadi Rp1,35 triliun, meski kerugian perusahaan menunjukkan sedikit tanda akan mereda di masa mendatang. Perusahaan e-commerce membukukan kerugian bersih sebesar USD93 juta pada tahun 2020, yang dikaitkan dengan biaya penjualan dan promosi yang signifikan untuk menarik pengguna ke pasarnya.
Meskipun kerugiannya menyempit 51,7% dari 2019, prospektusnya mengatakan mungkin tidak mencapai profitabilitas dalam waktu dekat karena perusahaan akan terus memperluas penawaran dan upaya pemasarannya.
Namun, enterprise value-to-forward-GMV (gross merchandise value) Bukalapak memiliki rasio 1,5 kali, lebih tinggi dari Tokopedia 0,5 kali.
IPO ini akan memperkuat semangat perang Bukalapak karena berjuang untuk bagian yang lebih besar dari ekonomi internet Indonesia yang berkembang pesat.
Raksasa teknologi yang baru-baru ini bergabung, GoTo, Shopee, dan Lazada milik Alibaba diadu dengan Bukalapak di pasar e-commerce yang tumbuh 54% pada tahun 2020 hingga mencapai USD32 miliar (Rp464 triliun) di GMV, menurut laporan Google, Temasek, dan konsultan Bain. Laporan yang sama juga memproyeksikan bahwa GMV Indonesia dapat meningkat menjadi USD83 miliar (Rp1.203 triliun) pada tahun 2025.