Perusahaan taksi asal Indonesia berumur lebih dari 50 tahun dengan tiga generasi penerus, Bluebird sudah menghadapi banyak tantangan, disrupsi, dan perubahan industri. Lantas, apa yang membedakan Bluebird sehingga mampu bertahan hari ini? Berikut pembahasannya.
Dilansir dari dari kanal YouTube Grace Tahir @gt.bodyshot bertajuk "Kunci Sukses Bluebird vs Taksi Online dan Pandemi" yang diakses pada Minggu (9/7/2023), Direktur Utama Bluebird, Sigit Djokosoetono, menjelaskan alasan Bluebird dapat bertahan bahkan berkolaborasi dengan mitra usaha lain.
Baca Juga: Setelah Viral Jadi Supir Taksi, Ini 4 Pesan CEO Bluebird pada Mitra Pengemudinya
"Kami mencoba mencari strategi apa yang paling pas. Saat itu kami temukan strateginya yang memang menjalankan fokus terhadap pelayanan, [dengan] tidak melupakan fokus kami pada driver dan juga justru memperkuat keberadaan kami di aset-aset yang kami miliki, aset monetisasi, karena itu strong point kami," jelas Sigit.
Menurutnya, aset monetisasi yang melekat pada Bluebird berupa mobil taksi yang dapat disetop penumpang di pinggir jalan, memiliki pangkalan taksi, di samping juga pelanggan dapat memesan taksi melalui aplikasi transportasi online yang menjadi mitra usaha Bluebird.
“Bisa disetop di jalan, punya pangkalan, itu strong point yang tidak kami lihat di kompetitor, bahwa digitalisasi kami perbaiki, pasti. Itu sesuatu hal yang pasti kami jalankan, prosesnya dipercepat, tentu butuh pendanaan yang lebih banyak," sambungnya.
Sigit juga menyebutkan sebelumnya, digitalisasi bisnis taksi juga membutuhkan pendanaan yang lebih besar. Namun, perusahaan juga perlu fokus dan tenang mencari strategi.
"Memang pada akhirnya kami juga berkolaborasi, [sebagai] salah satu strategi yang kami jalankan. Karena kami tahu ada beberapa strong point, ada beberapa weakness point buat kami dan buat partner," tambahnya.
Sigit menjelaskan, perkara digitalisasi di Bluebird adalah salah satu cara untuk menaikkan strong point. "Namun, diperlukan cara berpikir atau mindset untuk mengubah karena nggak bisa hanya mendigitalkan proses yang ada. Itu sama saja [membuat] prosesnya jadi makin rumit," ujarnya.
"Harus recreating business process-nya," sambung Sigit.
Karena itu, Sigit menyebutkan perkara mindset adalah bagian berat saat melakukan digitalisasi. Ia bercerita ketika Bluebird memiliki aplikasi, pelanggan akan bingung dan manajemen ketakutan pelanggan pindah ke kompetitor.
“Kalau saya melihat, harus tahu dulu core strength-nya. Perkuat core strength-nya, baru tambahkan layer-layer di luarnya untuk memastikan itu nggak terganggu," tandasnya.
Sigit mengatakan, core strength adalah bagian dari jati diri perusahaan dan masing-masing perusahaan berbeda kekuatannya. "Bisa punya yang misalnya layanan yang lain, atau pun juga aset yang lain, atau pun mungkin juga core strength-nya adalah digitalnya," tutup Sigit.