Selasa, 07 Mei 2024 Portal Berita Entrepreneur

Kisah Orang Terkaya: Patrick Collison, Kutu Buku yang Sukses Bikin Startup Bareng Adiknya

Foto Berita Kisah Orang Terkaya: Patrick Collison, Kutu Buku yang Sukses Bikin Startup Bareng Adiknya
WE Entrepreneur, Jakarta -

Salah satu orang terkaya di dunia, ialah Patrick Collison. Pria berdarah Irlandia-Amerika ini menjadi miliarder berkat perusahaannya Stripe yang ia bangun bersama adiknya, John Collison. Patrick menjabat sebagai CEO Stripe, sementara John menjabat sebagai Presiden Stripe.

Patrick Collison lahir dari ahli mikrobiologi Lily dan insinyur Denis Collison pada tahun 1988, dan dia beserta saudara-saudaranya dibesarkan di desa kecil Dromineer di County Tipperary. Patrick merupakan anak tertua dari tiga bersaudara, ia mengambil kursus komputer pertamanya ketika ia berusia delapan tahun, di Universitas Limerick, dan mulai belajar pemrograman komputer pada usia sepuluh tahun.

Pribadinya dikenal sebagai seorang pembaca yang rajin, ia menyimpan ratusan buku di raknya tentang topik-topik termasuk fisika, feminisme, dan kritik sastra.

Baca Juga: Kisah Orang Terkaya: John Collison, Miliarder Muda yang Dapat Kucuran Dana dari Elon Musk

Pada tahun 2005 di usia 16 tahun, Patrick memenangkan Pameran Ilmuwan dan Teknologi Muda ke-41. Sebelum tahun terakhir SMA-nya, Patrick sudah lebih dulu kuliah di Massachusetts Institute of Technology (MIT).

Selama kuartal pertama tahun pertamanya, Patrick mendirikan Auctomatic bersama adiknya, John dan kemudian bergabung dengan Y Combinator sebagai perusahaan Winter 2007. Sayangnya, tidak bertahan lama. Pada Jumat Agung Maret 2008, di saat Patrick berusia sembilan belas tahun, dan John berusia tujuh belas tahun, keduanya menjual Auctomatic ke perusahaan Kanada Live Current Media dan menjadi jutawan. Ia mengaitkan kesuksesan perusahaannya dengan kemenangannya dalam Pameran Ilmuwan dan Teknologi Muda.

Pada awal 2010, John dan Patrick mulai mengerjakan Stripe bersama. Saat itu Patrick sedang mengerjakan beberapa proyek sampingan dan mereka memperdebatkan mengapa begitu sulit menerima pembayaran di web. Mereka berusaha memecahkan masalah dan melihat apakah mungkin untuk membuatnya sederhana, atau bahkan sangat sederhana. Kemudian, enam bulan berikutnya mereka menunjukkannya kepada teman-teman, dan melihat bagaimana orang-orang berinteraksi dengannya, berulang-ulang di sepanjang jalan.

Dalam waktu 2 minggu setelah membangun prototipe, mereka melakukan transaksi pertama dengan perusahaan Y Combinator bernama 280 North. Akhirnya pendirinya Ross Boucher (pelanggan pertama mereka) akan bergabung dengan Stripe sebagai salah satu karyawan pertama.

Pada awalnya mereka tidak yakin seberapa besar pasarnya atau apakah mereka dapat memberikan pengalaman pengguna yang mereka inginkan. Mereka juga tidak memiliki jawaban apakah mereka dapat sepenuhnya mengatasi masalah seperti penipuan, pembayaran non-AS, dan memecahkan masalah serupa yang dilakukan Paypal tetapi dengan cara yang ramah pengguna.

Stripe awalnya bermitra dengan perusahaan pembayaran tetapi setelah mereka mulai menganggapnya serius, mereka menyadari bahwa satu-satunya cara untuk mengendalikan seluruh pengalaman seperti yang mereka inginkan adalah dengan mengendalikan semua proses aspek.

Setelah 6 bulan, mereka memutuskan bahwa mereka telah mencapai sesuatu yang besar dan mereka dapat menciptakan pengalaman pengguna yang mereka inginkan. Baik John dan Patrick mulai mengerjakan secara penuh pada musim gugur 2010.

Saat itu, perusahaan ini masih dalam tahap bootstrap, tetapi para pendiri mulai menyadari bahwa sebagai startup pembayaran, mereka memerlukan kredibilitas institusional yang dapat diberikan oleh investor.

Pada April 2020, Stripe mengumpulkan putaran pendanaan USD850 juta (Rp13 triliun) dengan penilaian USD36 miliar (Rp552 triliun). Hari ini, Patrick sendiri memiliki harta kekayaan hingga USD9,5 miliar (Rp145 triliun). Patrick menangani teknik dan bertindak sebagai wajah publik perusahaan sebagai CEO Stripe.

Tag: Patrick Collison, Kisah Orang Terkaya

Penulis/Editor: Fajria Anindya Utami

Foto: Twitter/Tech in Asia