Orang terkaya dunia, Elon Musk mengaku khawatir tentang masa depan ekonomi. CEO pembuat kendaraan listrik Tesla (TSLA) ini mengungkap ketakutannya sebagaimana Federal Reserve bersiap untuk menaikkan suku bunga lagi dengan harapan melawan inflasi tertinggi dalam 40 tahun.
Untuk diketahui, bank sentral akan mengadakan pertemuan moneter dua hari pada 20-21 September. Di akhir pertemuan, para ekonom, komunitas bisnis, dan pasar mengharapkan institusi menaikkan suku bunga setidaknya 75 basis poin atau 0,75% mengingat angka terbaru yang menunjukkan bahwa kenaikan harga barang dan jasa jauh dari menenangkan.
Beberapa ahli seperti mantan Menteri Keuangan Larry Summers bahkan mendukung skenario kenaikan suku bunga sekitar 100 basis poin atau 1%.
Baca Juga: Elon Musk Dianggap Biang Rusuh oleh Rusia, Tapi Jadi Pahlawan Bagi Ukraina
"Tampaknya jelas bagi saya untuk beberapa waktu sekarang bahwa pergerakan 75 basis poin pada bulan September adalah tepat," kata Summers, mengutip The Street di Jakarta, Selasa (20/9/22). "Dan, jika saya harus memilih antara 100 basis poin pada September dan 50 basis poin, Saya akan memilih langkah 100 basis poin untuk memperkuat kredibilitas."
Tetapi beberapa hari kemudian, Summers, yang merupakan presiden emeritus Universitas Harvard, mengakui bahwa tugas The Fed itu rumit dan berat.
"@federalreserve berada dalam posisi yang sulit. Ke depan dari sini, dengan dana terminal Fed dihargai di atas 4,25 persen, itu harus cukup agresif untuk menghindari pelonggaran kondisi keuangan secara keseluruhan," katanya lagi beberapa hari setelahnya.
Sementara itu, Musk sangat kritis terhadap kebijakan moneter yang saat ini menaikkan suku bunga secara tajam untuk menghindari resesi.
Taipan teknologi itu percaya bahwa kenaikan suku bunga sebesar 0,75% oleh The Fed kemungkinan akan memicu skenario deflasi yang sama mengkhawatirkannya.
"Kenaikan suku bunga Fed yang besar berisiko deflasi," kata miliarder itu.
Deflasi adalah kebalikan dari inflasi. Deflasi ditandai dengan penurunan terus menerus dalam tingkat umum harga. Hal ini dapat mendorong rumah tangga untuk menunda keputusan pembelian mereka karena mereka menunggu penurunan harga lebih lanjut, kata para ekonom.
Konsekuensinya bisa sangat menghancurkan karena konsumsi secara keseluruhan merosot. Kemudian, perusahaan yang tidak bisa lagi menjual produknya mengurangi produksi dan investasi.