Pendiri Podo Joyo Masyhur, Teguh Kinarto membagikan kisah suksesnya yang memulai bisnis dari nol hingga bisa mendirikan kerajaan properti Podo Joyo Masyhur seperti sekarang ini. Teguh lahir di Surabaya, pindah ke Malang dan mengontrak selama 17 tahun lamanya hingga tahun 1970.
Dalam video YouTube Hermanto Tanoko "BERAWAL DARI NOL, SAMPAI JADI BOS PODO JOYO MASYHUR! Teguh Kinarto - Hermanto Tanoko Podcast", Teguh mengungkap orang tuanya sempat bekerja di Jakarta, kemudian ibunya menghidupi keluarga sebagai pemilik toko kain di pasar Malang. Pada tahun 1966, ayahnya meninggal karena sakit jantung. Saat itu Teguh masih berusia 14 tahun.
Baca Juga: Maharani Kemala Ungkap Ketakutannya Setelah Sukses dan Terkenal, Apa Itu?
Setelah itu, Teguh membantu ibunya di pasar berjualan kain. Sayangnya, pada tahun 1966, karena ada gejolak politik, toko-toko yang dimiliki keturunan Tionghoa diambil alih oleh pemerintah.
Pada tahun 1965-1966, Teguh dan keluarganya tidak memiliki pekerjaan. Ia pun tidak sekolah selama dua tahun karena sekolah berbahasa Mandarin ditutup semua.
Kemudian dia bertemu temannya yang menyarankan untuk kembali bersekolah agar hidupnya bisa berubah. Pada tahun 1968, akhirnya Teguh mendaftar di sekolah Taman Harapan dan kembali masuk di SMP kelas dua.
Setelah itu, Teguh rajin sekolah hingga selalu mendapatkan ranking dan mendapatkan tawaran kelas akselerasi langsung ke 1 SMA. Namun, ia harus diturunkan kembali ke kelas 3 SMP tetapi, Teguh berat menerimanya sehingga ia memutuskan pindah sekolah mengambil kelas malam.
Ibunya yang menggelar lapak di Pasar Besar 87 Malang di depan Toko Podo Joyo pun membuat Teguh kenal dengan anak-anak Podo Joyo. Anak-anak Podo Joyo menyarankan Teguh sekolah di tempatnya, lalu ia ditemui dengan kepala sekolah di sana bernama Suster Ferada, Teguh pun diterima kelas 1 SMA.
Usai lulus SMA, Teguh sempat kuliah sebentar tapi tidak lama. Ia kemudian fokus mengais rezeki dengan bekerja. Karirnya dimulai dengan perjalanan yang tak mudah. Ia juga lahir bukan dari keluarga berada. Ibunya hanya memiliki toko kain, dan Teguh bekerja giat membanting tulang untuk membuat ibunya hidup lebih baik.
Karirnya di toko kain membantu toko kecil-kecilan sang ibu dimulai dari terbiasa mencatat pengeluaran-pengeluaran kecil. Pada Januari 1970, setelah diperbolehkan kembali membuka toko, sang ibu menyewa kembali toko di Pasar Besar 87. Teguh pun membantu dan mencatat pendapatan bulanan toko kain tersebut sekitar Rp18 ribu dalam satu bulan.
Sementara itu, biaya belanjanya Rp28 ribu. Sejak Januari hingga Maret, toko kain yang dijalani Teguh dan ibunya selalu merugi Rp10 ribu. Namun, di bulan April mulai mendapatkan keuntungan. Itu karena Teguh memberanikan diri kredit kain kepada instansi-instansi. Sejak kredit barang dagangan, Teguh pun berhasil merasakan keuntungan dan toko nya bertumbuh. Dalam 8 bulan, keuntungannya tembus Rp2 juta. Sementara pengeluaran untuk satu tahun hanya Rp800 ribu.
Pada tahun 1971, keuntungan berlipat tiga kali menjadi Rp6 juta dan Teguh sudah membeli mobil. Pada tahun berikutnya, keuntungan menjadi Rp18 juta. Dan di tahun 1973, mobil Teguh sudah lebih dari satu.
Hingga tahun 1978, Teguh sudah mendapatkan modal yang cukup sehingga bisa memberikan kredit berbagai barang seperti sepeda, sepeda motor, dan lain sebagainya. Segala kebutuhan instansi dan koperasi, selalu diberikan oleh Teguh. Teguh selalu melirik instansi karena pembayaran tidak pernah terlambat. Dari satu instansi yang menaungi 281 sekolah diberikan kredit oleh Teguh. Di tahun ini pula Teguh menikah pada usia 26 tahun.
Dari toko kain, Teguh mulai melirik bisnis kontraktor. Barulah merambah bisnis properti. Pada saat itu, Indonesia sangat makmur karena harga minyak sangat bagus, dolar masih sangat murah, bahkan harga 1 gram emas hanya Rp500 sehingga 1kg hanya Rp500 ribu. Dalam 50 tahun, kenaikan emas 1.800 kali lipat. Pada tahun 1970-1980, Teguh menjalani bisnis kontraktor.
Hingga suatu hari, Teguh berpikir bahwa Indonesia sangat makmur dan cukup. Beras murah dan banyak, pabrik-pabrik kain tumbuh dengan baik, sehingga sandang dan pangan di Indonesia tumbuh sangat baik, tetapi 'papan' kurang. Karena itu Teguh mengambil langkah berbisnis properti dengan membangun rumah untuk prajurit atau ABRI. Teguh termasuk ke dalam kloter pembangunan rumah ASABRI pada tahun 1980-an. Toko kain pun ditutup dan Teguh mulai mencari tanah berhektar-hektar.
"Sukses itu membutuhkan 100 langkah, 1000 langkah. Kita ini bukan mendadak pintar, tapi learning by doing," tukas Teguh. "Karena kita sering gagal, kita belajar dari kegagalan ini sehingga menjadi kekuatan," lanjutnya.
Saat masih berproses menjadi pengembang properti, Teguh pernah ditipu dengan surat-surat palsu. Karena itu, Teguh mengungkap pembebasan lahan itu butuh keuletan dan ketelitian yang luar biasa. Saat itu, hampir setiap Sabtu dan Minggu, Teguh dan istri keliling mencari tanah.
Pada tahun 1978, saat devaluasi melanda Indonesia, Teguh tidak terdampak karena tidak memiliki utang dan memiliki cashflow yang baik.
Teguh mengungkap secara makro, pandemi Covid-19 ini sangat berat. Tetapi untunglah Teguh bertahan karena perusahaannya sehat. Terlebih, ia sudah terlatih dalam krisis seperti tahun 1998 dan 2008. Bahkan, pada krisis 2008, perusahaan Teguh tidak terdampak sama sekali, malahan ia ekspansi ke sana sini.
Pada tahun 1997-1998, Teguh berhasil melepas 8.800 rumah untuk ABRI. Teguh pun mengungkap dalam menjadi pengusaha, selain kerja keras perlu juga pertemanan yang luas untuk mempermudah perizinan dan permodalan.
"Seseorang yang sukses harus bermimpi yang besar. Selain bermimpi yang besar, dia juga membayar harganya," ujar Teguh.
Pada tahun 1990-an, Teguh memiliki lebih dari 100 proyek di berbagai kota. Kini, memasuki usia senja, Teguh sudah perlahan memberikan tongkat kepemimpinan kepada anak-anaknya. Keempat anak-anaknya pun sudah lama membantu di perusahaan. Padahal, Teguh tidak pernah memaksa kesuksesan anak-anaknya. Meski sukses secara finansial bukan tolak ukur yang utama, tetapi Teguh mengakui sukses secara finansial mencerminkan kebahagiaan hidup seseorang.
Selain itu, Teguh juga hobi beramal. Menurutnya, ia menjadi bahagia ketika melihat kebahagiaan orang lain. Terlebih, filosofi hidupnya adalah "yang lebih memberi kepada yang kurang".
Lebih lanjut, Teguh membeberkan tujuan hidup yang dibagi menjadi 5 skala prioritas. Yang pertama yaitu iman, takut akan Tuhan, jangan punya hati jelek atau curang apalagi menipu orang. Teguh mempelajari ceramah-ceramah dari tokoh-tokoh Kristen ataupun Islam bahwa di balik kesuksesan manusia hari ini, pada dasarnya manusia memiliki keterbatasan. Karena itu, jangan hanya fokus pada kelebihan yang dimiliki tetapi juga fokus pada kekurangan yang dimiliki agar bisa lebih cepat diperbaiki.
Kemudian yang kedua adalah sehat yang menjadi pedoman kehidupan. Yang ketiga adalah keluarga. Keempat baru finansial, karena ketika sudah bebas finansial justru uang yang mendatangi. Yang kelima yaitu kegiatan sosial, memberi kepada yang membutuhkan, dan lain sebagainya. Kegiatan sosial ini melengkapi kebahagiaan dalam kehidupan agar menjadi orang yang lebih bermakna.
Terakhir, Teguh menuturkan bahwa hidup jangan hanya mencari uang. Karena bagaimanapun, uang membuat hidup lebih nyaman. Hermanto Tanoko juga menambahkan bahwa dalam mencari uang pikirkanlah Tuhan karena jika hanya memikirkan yang ada di Bumi, orang akan menghalalkan segala cara.