CEO Mayapada Dato Sri Tahir sempat memberikan kuliah umum di Universitas Airlangga pada tahun 2018 silam. Melalui video YouTube bertajuk "FEB UNAIR Kuliah Umum Prof Tahir 12 FEBRUARI 2018", Tahir melihat pada era Presiden Joko Widodo ingin mengurangi inefisiensi seperti mengurangi subsidi.
Tahir juga memberi contoh pada zaman Presiden Soeharto, pengusaha lebih banyak membangun pabrik melalui pinjaman ke bank tetapi tidak dibayarkan. Melakukan ekspor juga selalu kalah di ranah internasional. Hingga akhirnya pada tahun 97-98 terjadilah krisis lantaran bobroknya para konglomerat dan struktur fondasi ekonomi Indonesia saat itu.
Baca Juga: Punya Reputasi dan Harta, Dato Sri Tahir Tegas Gak Tertarik Terjun ke Politik
Karena itu, era Presiden Joko Widodo menekan inefisiensi ini dengan mengurangi subsidi minyak dan dialokasikan pada infrastruktur. Menurut Tahir, secara jangka panjang, ini adalah fondasi awal yang baik. Jokowi yang pernah menjadi pengusaha sangat paham pentingnya menekan biaya yang tidak efisien karena akhirnya akan berujung pada hilangnya keuntungan dan hilangnya daya saing.
Meski pada akhirnya investasi asing terlihat mudah masuk ke Indonesia, namun pada pelaksanaannya tidak demikian. Setiap investor yang masuk ke Indoensia membutuhkan riset mendalam 1-3 tahun untuk memperhatikan banyak hal seperti tingkat kompetitif, parner lokal, peraturan, dan lain-lain. Terutama, partner lokal yang menjadi penghubung investor luar dengan Indonesia menjadi faktor penting untuk menarik investasi dari luar negeri.
Namun, Tahir mengaku dirinya anti dengan investor yang serakah. Karena itu, ia mengungkap perlu memperkuat diri Indonesia sendiri dari segi hukum dan peluang untuk memberi profit bagi investor asing yang dipermudah untuk keluar-masuk Indonesia pada era globalisasi ini. Dengan demikian, investor asing akan tertarik untuk menanamkan modal ke Indonesia.
Bagi Tahir, salah jika kita melihat asing itu jahat. Karena pada era globalisasi saat ini sudah tidak ada lagi batas negara. Terlebih dengan hebatnya dunia informasi. Semua negara saling bersaing untuk mendapatkan investasi.
Lebih lanjut, Tahir mengungkap bahwa Indonesia tidak seharusnya memberikan 'buruh' murah, tetapi harusnya 'buruh' yang berkualitas tinggi dan bisa dibayar selayaknya. Melalui Tahir Foundation, Tahir memberikan pelatihan kepada 5.000 tenaga kerja wanita agar tidak lagi menjadi pembantu rumah tangga, tetapi bisa bekerja di hotel, mall hingga perawat di luar negeri.
Tahir juga menaruh fokusnya pada pemerintah yang telah memberikan 16 paket stimulus ekonomi. Namun, keefektivannya kurang dirasakan. Bukan karena rencananya yang buruk, tetapi karena pelaksanaannya yang kurang maksimal.
Industri 4.0 belum tentu cocok bagi Indonesia. Bahkan, negara yang baru mampu mencapai 3.8 baru Jerman yang melangkah ke ranah robotik. Memang, Tahir yakin bahwa Indonesia memerlukan teknologi yang tinggi, tetapi lebih penting lagi untuk menampung 2,8 juta pekerja milenial.
Lalu, Tahir mengungkap bahwa ekspor kelapa sawit telah menjadi industri non-migas yang moncer dan terbesar di Indonesia. Maka perlu diperdayakan lahan-lahan yang terlantar dan bisa digunakan untuk dibangun kembali kelapa sawit. Karena itu, pemerintah harus fokus pada bisnis ekspor.
Lain halnya dengan batu bara yang mulai anjlok karena dampak terhadap lingkungannya yang besar. Bahkan, di China, tambang-tambang batu bara sudah ditutup karena membuat polusi di mana-mana. Padahal, sektor tambang di Indonesia sangat kaya, seperti nikel, tambang, minyak bumi dan batu bara sendiri. Pemerintah telat mengantisipasi anjloknya harga-harga tambang ini.
Selanjutnya, sektor turis Indonesia masih kalah. Turis yang datang ke Indonesia tidak sebanyak negara lain di Asia. Dan makanan yang terkenal dari Indonesia lagi-lagi hanya Nasi Goreng. Padahal, banyak nilai budaya, kebaikan dan makanan-makanan lainnya dari Indonesia yang seharusnya tidak kalah saing dengan negara lain.
Tahir mengungkap bahwa setiap orang China melakukan tur Asia Tenggara, mereka hanya mengunjungi Malaysia, Singapura dan Thailand. Tidak ada Indonesia di sana. Barulah pada masa pemerintahan Jokowi, sektor turis mulai digencarkan.
Tahir percaya, suatu hari sektor turis akan menjadi sektor yang menjanjikan dan menjadi kekuatan bagi ekonomi Indonesia.
Selain sektor turis, kelautan Indonesia juga sangat kaya. Sayangnya, nelayan kita masih terlantar. Kita masih harus memberikan solusi bagi nelayan agar bisa bertahan hidup jika 6 bulan tidak melaut. Karena, nelayan Indonesia hanya 6 bulan melaut. Sehingga ada keseimbangan dan mereka bisa tenang saat melaut.
Selanjutnya dalam segi industri, mesin pabrik bisa kuat untuk 20 tahun. Karena itu, Tahir setuju jika upah buruh dinaikkan, tetapi buruh juga harus bisa mengupgrade skill. Sektor industri Indonesia juga membutuhkan reformasi agar bisa lebih maju dari Jepang yang bisa membuat mesin.
Lalu, reformasi pendidikan di Indonesia juga harus dilakukan. Terlebih dalam hal teknologi. Karena kesenjangan pendidikan semakin membuka jurang antara si kaya dan si miskin. Mengubah keadaan Indonesia hanya butuh satu jalan, yaitu reformasi pendidikan.
Salah satunya kesejahteraan guru dan profesor yang seharusnya diberikan secara cuma-cuma agar mereka bisa lebih fokus untuk mengembangkan murid. Dalam segi penelitian juga Indonesia harus berani berinvestasi untuk ilmu pengetahun.