Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) bekerja sama dengan perusahaan konsultan global Ernst & Young (EY) Parthenon Indonesia meluncurkan riset berjudul Studi Pasar dan Advokasi Kebijakan UMKM Indonesia. Hasilnya, terdapat, empat segmentasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yakni kelompok bisnis prospektif, kelompok kebutuhan dasar, kelompok bisnis konvensional bertahan, dan kelompok bisnis unggul.
Acara ini dihadiri oleh Deputi Komisioner Pengawas Lembaga Pembiayaan dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Bambang W Budiawan, Ketua Bidang Humas AFPI Andi Taufan Garuda Putra, Partner at EY Parthenon Indonesia, Strategy and Transactions Anugrah Pratama, dan Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc) Eddi Danusaputro.
Di sesi pembukaan acara, Sekretaris Jenderal AFPI dan CEO Dompet Kilat, Sunu Widyatmoko mengatakan bahwa temuan dari EY tersebut akan mendukung pengambilan kebijakan berdasarkan tingkat literasi agar pendanaan dapat lebih tepat sasaran.
Baca Juga: AFPI: 63% Pengguna Generasi Milenial dan Gen Z Akses Layanan Keuangan Digital
Sunu memaparkan, berdasarkan hasil EY, total kebutuhan pembiayaan UMKM pada tahun 2026 diproyeksikan mencapai Rp4.300 triliun, dengan kemampuan suplai sebesar Rp1.900 triliun.
“Artinya terdapat selisih Rp2.400 triliun total kebutuhan pembiayaan sektor UMKM, dan sektor ini memiliki pertumbuhan kurang lebih 7% dari 2022 hingga 2026,” ujar Sunu di acara peluncuran hasil riset EY di Jakarta pada Jumat (14/7/2023).
Adanya selisih pembiayaan tersebut menyebabkan kesenjangan kredit terus bertambah. Sunu merujuk data dari Bank Dunia yang mengatakan bahwa pemberian pinjaman ke sektor tidak mendapatkan layanan perbankan (undeserved) dan tidak memiliki rekening bank (unbanked) bahwa perusahaan teknologi finansial (fintech) membantu dua kalangan tersebut. Namun, adanya riset dari EY justru sebaliknya.
Sunu juga menjelaskan secara umum hasil riset EY tersebut bahwa riset ini menemukan kontribusi pembiayaan industri pinjaman fintech (fintech lending). Di tahun 2026, dipredikasi hanya sebesar 1% dari total suplai dan tumbuh dengan laju 0,1%.
“Jadi kemampuan dari fintech lending untuk industri ini masih kecil,” pungkasnya.
Sunu menjelaskan, hal tersebut disebabkan belum merata dan rendahnya literasi keuangan digital di berbagai daerah di Indonesia. Di samping itu, ekosistem regulasi dan operasi bagi fintech lending yang mendukung model bisnis dan pangsa pasar masih belum terbentuk.
Baca Juga: Meresahkan Pelaku UMKM, Praktik Social Commerce Dnilai Perlu Segera Ditertibkan
Harapannya, adanya hasil riset ini akan membantu perusahaan fintech untuk berperan lebih besar karena jenis dan tingkat risiko (risk appetite) dan aksesibilitas platform yang mudah, serta mendistribusikan pendanaan lebih tepat sasaran.