BUMN harus bisa menyeimbangkan fungsi enterprises dan fungsi "negara". Fungsi pertama, BUMN harus bisa mengoptimalkan potensi keuntungan, financial profit yang berfungsi menambah kas negara, sebagai salah satu penopang keuangan negara. Efisiensi dan efektifitas manajemen harus dikedepankan.
Fungsi kedua, sebagai fungsi negara BUMN harus bisa hadir untuk memberikan kebermanfaatan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat social welfare menuju keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Fungsi ini tetap mengedepankan good corporate governance.
Menarik, selanjutnya, ketika kita melihat struktur keuangan di PP Nomor 23 tahun 2020 tentang Program Pemulihan Ekonomi Nasional menganggarkan dana hampir 150 Trilyun suntikan pemerintah ke BUMN melalui instrumen Penyertaan Modal Negara.
Tujuan Penyertaan Modal Negara (PMN) ini seharusnya bertujuan untuk menguatkan struktur permodalan dan peningkatan kapasitas usaha BUMN.
Seharusnya dengan suntikan senilai 150 Trilyun, negara mempunyai value dan selanjutnya BUMN tersebut bisa memberikan pendapatan secara positif berbanding lurus dengan nilai PMN. Kondisi seperti ini, negara akan mempunyai aset.
Problemnya adalah ketika banyak BUMN yang sedang fragile dan bahkan diindikasikan banyak inefisiensi maupun mismanagement sehingga struktur keuangannya tidak ideal, misalnya Garuda, PLN, dll.
Kalau BUMN-BUMN yang masih diragukan akuntabilitasnya, PMN yang disuntikkan melalui instrumen PP Nomor 23 tahun 2020 ini akan terancam menguap.
Ketika dananya menguap, tinggal selanjutnya para pembayar pajak yang harus menanggung hutang atas program-program ini. Kondisi ini, membuat pemerintah menciptakan liabilities buat masa depan bangsa.
Jadi, mari kita simak dengan jeli, "langkah kuda" pemerintah dengan memberikan suntikan Penyertaan Modal Negara (PMN) ini, apakah pemerintah sedang memupuk aset atau menciptakan liabilities buat masa depan. Menarik untuk terus kita cermati.