CEO dan pendiri SoftBank Masayoshi Son mengatakan dia secara agresif menjual aset tahun ini untuk mempersiapkan skenario kasus terburuk yang dapat terjadi jika dunia mati dalam gelombang kedua wabah virus corona.
Dalam acara Dealbook Conference New York Times, Son mengatakan hal itu secara virtual dari Tokyo. Dia mengatakan dia awalnya menargetkan sekitar USD40 miliar (Rp560 triliun) penjualan aset tahun ini tetapi akhirnya menjual sekitar USD80 miliar (Rp1.120 triliun) perusahaan untuk memberikan likuiditas perusahaan jika terjadi keadaan darurat global. (kurs Rp14.000/dolar)
Baca Juga: Kisah Orang Terkaya: Masayoshi Son, Bos SoftBank yang Juga Angel Investor
"Dalam dua atau tiga bulan ke depan, bencana apa pun bisa terjadi. Jadi kami hanya mempersiapkan skenario terburuk," ujar Son dikutip dari CNBC International di Jakarta, Rabu (18/11/2020).
Di antara penjualan aset terbesarnya, SoftBank menjual perusahaan semikonduktor ARM ke Nvidia seharga USD40 miliar dan sekitar USD20 miliar sahamnya di T-Mobile baru, yang bergabung dengan Sprint awal tahun ini.
Jika pasar turun, Son mengatakan bahwa SoftBank dapat menggunakan uang itu untuk membeli aset yang nilainya rendah, menopang investasi portofolionya di SoftBank Vision Fund atau membeli kembali lebih banyak saham.
Meskipun Son tidak menjelaskan secara spesifik tentang kemungkinan "bencana" dalam beberapa bulan mendatang, ia menyinggung keruntuhan Lehman Brothers tahun 2008 tentang bagaimana satu peristiwa dapat menjadi katalisator untuk kehancuran yang lebih luas.
"Apa pun bisa terjadi dalam situasi seperti ini. Tentu saja, vaksin medis akan segera datang. Tapi siapa yang tahu dalam dua atau tiga bulan ke depan?" tandasnya lagi.
Son dua kali menolak mengomentari mengapa ia buyback saham di SoftBank secara pribadi. Jika Son secara agresif membeli kembali lebih banyak saham, dia bisa secara efektif membuat take-private lebih mudah saat dia meningkatkan kepemilikannya di saham yang beredar.
Selain soal persiapan dana darurat SoftBank, Son juga mengomentari bagaimana TikTok dilarang di AS. Ia berpikir bahwa itu menyedihkan saat pemerintahan Trump mengancam untuk menutup TikTok di AS lantaran alasan ancaman keamanan nasional yang dipertanyakan.
Dia mengatakan perusahaan teknologi terbesar AS tidak boleh bubar hanya karena valuasi pasar mereka besar. "Menjadi besar dan kuat belum tentu merupakan hal yang jahat," kata Son.