Perusahaan barang-barang mewah global harus rela terkena dampak wabah virus corona. Bahkan menurut para ahli, hal ini dapat menghambat pendapatan sepanjang tahun 2020. Meski demikian, CEO Bulgari Jean Christophe Babin mengatakan krisis tersebut tidak mengubah pandangan positif perusahaannya terhadap China.
Namun ia mengakui bahwa wabah yang telah menewaskan lebih dari 1.000 orang ini memiliki efek besar pada pendapatan perusahaan.
Untuk diketahui, Bulgari sendiri memiliki 51 toko di wilayah China. Merek milik LVMH ini menolak untuk menentukan berapa banyak toko yang beroperasi di mal-mal China, namun ia mengatakan setengah dari toko-toko itu telah ditutup sebagai tindakan terhadap wabah tersebut.
Baca Juga: Penjualan LVMH Melonjak Tajam, Harta Orang Terkaya Ini Jadi Rp1.400 Triliun
"Apa yang terjadi saat ini di China membatasi pertumbuhan industri (kemewahan global). Fakta bahwa kita bersandar pada e-commerce hanya di China jelas sangat merugikan penjualan. Ini berlaku untuk Bulgari, tapi itu benar, saya percaya, untuk merek apa pun." kata Babin.
Selain Bulgari, merek mewah lainnya ikut menghindar untuk mengatakan kepada publik soal virus corona yang memengaruhi laba mereka, meski mereka juga telah mempublikasikan sumbangan kemanusiaan dan janji untuk membantu memerangi penyakit ini.
Seperti halnya Gucci, Cartier, dan pengecer kelas atas lainnya menolak berkomentar atau tidak mau menanggapi masalah ini. Tiffany & Co. (TIF), yang diakuisisi oleh LVMH, mengkonfirmasi telah menutup beberapa toko di daerah yang terkena dampak di China, tetapi tidak akan mengatakan bagaimana situasinya telah mempengaruhi penjualan globalnya.
Menurut Babin, perusahaan induk Bulgari, LVMH, menikmati tahun penjualan terbaiknya pada tahun 2019, sebagian besar berkat pasar Cina. Sebanyak 16% perekonomian China sendiri merupakan dari PDB global, dan memiliki dampak yang sangat besar pada sektor barang mewah dunia, yang terdiri sekitar sepertiga dari penjualan industri global.