Pada 2005, Thomas Martin Freedman menerbitkan sebuah buku yang berjudul World is Flat. Dalam buku tersebut terdapat 10 faktor pendorong dasar untuk terjadinya globalisasi. Adapun yang menarik dari 10 faktor tersebut, beberapanya adalah perkembangan pesat di bidang teknologi, kreativitas, pengembangan komunitas dan alih daya dalam rantai pasok.
Dalam pelaksanannya, globalisasi mendapat beberapa tantangan dari beberapa pakar ekonomi terutama di negara maju. Hal ini dikarenakan ada beberapa isu kemanusian, lingkungan, dan ketimpangan dalam beberapa parameter ekonomi, di antaranya angka pengangguran dan pertumbuhan ekonomi.
Hal ini dibuktikan semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi China dari tahun ke tahun dan membuat China menjadi kekuatan ekonomi baru di Asia setelah sebelumnya dikuasai Jepang dan Korea. China adalah salah satu contoh negara yang berhasil memanfaat globalisasi untuk kepentingan ekonomi domestik terlepas dari beberapa kontroversi yang dilakukan.
Baca Juga: Bidik Transaksi Digital di Koperasi, LinkAja Gandeng Kospin JASA
Melalui gambar di bawah ini, terlihat tingginya pertumbuhan ekonomi China dimulai pada 2007 di mana globalisasi menjadi referensi dalam pengembangan industri manufaktur.
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi China 2007-2017 dan Prediksi Sampai 2024 (IMF, 2019)
Pada grafik diatas, pertumbuhan ekonomi China pada 2007 sampai 2017 disebabkan oleh produktivitas dan efisiensi tinggi di industri manufaktur yang pada akhirnya meyebabkan laju aliran modal ke China. Hal ini membuat daya saing industri domestik China sangat baik.
Jika dikaji lebih dalam, pertumbuhan ekonomi China banyak disebabkan beberapa perusahan Amerika Serikat dan Eropa memindahkan produksinya (offshoring) dan alih daya (outsourcing) ke China. Hal ini disebabkan biaya produksi lebih optimum jika diproduksi di negara dunia ketiga, seperti China dan beberapa negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia.
Globalisasi menjadi keuntungan buat ekonomi China dikarena keberhasilan China dalam proses pertambahan nilai (value added) di industri manufaktur. Namun, sebaliknya jika melihat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dalam kurun waktu 2007-2017, globalisasi bukanlah benefit. Terlepas kejadian subprime mortage yang terjadi di 2008, secara umum pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat tidak lebih baik dari China.
Gambar 2. Perbandingan GDP China dan Amerika Serikat (World Economic Forum, 2019)
Pada 2014, GDP China berhasil menyusul Amerika Serikat. Hal ini memunculkan beberapa pertanyaan di antaranya apakah globalisasi menyebabkan pindahnya kekuatan ekonomi dari Amerika Serikat ke China. Globalisasi melahirkan kekuatan ekonomi baru yang mungkin tidak dipertimbangkan Freedman dalam bukunya.
China merupakan contoh negara yang bisa membuktikan kapitalisme perusahaan (corporate capitalism) ditambah dengan akar komunisme di struktur sosial dan manusianya merupakan perpaduan yang menarik dalam pengembangan pertumbuhan ekonomi domestik.
Dilihat dalam perspektif politik, isu ketimpangan pertumbuhan ekonomi China dan Amerika Serikat ini digunakan Presiden Donald Trump dalam kampanye politiknya di 2016 dengan slogan Make American Great Again.
Isu ketimpangan pertumbuhan ekonomi ini jika ditarik lebih dalam makroekonomi berarti tingginya tingkat pengangguran terutama di penduduk asli Amerika Serikat. Hal ini dirasakan langsung oleh masyarakat sehingga narasi politik ini dibeli oleh masyarakat Amerika Serikat dan Presiden Donald Trump memenangkan pemilihan umum pada 2016.
Di bawah kepimpinan Presiden Trump, Amerika Serikat membuat kebijakan ekonomi yang berbeda dan bersifat keberpihakan terhadap ekonomi domestik Amerika Serikat. Di mana perusahaan Amerika yang mempunyai unit produksi di China, diharapkan bisa mengembalikan unit produksi di Amerika Serikat dengan berbagai insentif yang ditawarkan pemerintah Amerika Serikat (Forbes, 2020).
Kebijakan ini mengakibatkan tidak selaras dua mesin ekonomi terbesar di dunia yang lebih dikenal dengan istilah decoupling. Istilah ini dikenal ketika dua mesin ekonomi ini terkait kebijakan ekonomi Amerika Serikat dan China dalam menghadapi krisis kesehatan yang terjadi akibat virus Sars-Cov-2 atau yang lebih dikenal dengan Covid-19.
Terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang membawa ekonomi dunia pada dua poros ekonomi baru di mana sebelumnya kedua poros tersebut telah bekerja sama sejak 1979. Perang dagang ini diprediksi akan berkepanjangan dan memengaharui ketahanan nasional Amerika Serikat dan China.
Adapun yang menarik dari fenomena ini tersebut adalah banyak negara negara maju yang meragukan globalisasi merupakan jawaban dari tantangan industri kedepan terutama dalam konteks ketahanan nasional. Globalisasi sekarang dianggap sebagai ancaman bagi ketahanan nasional (Amitrage et al, 2006). Namun, ada pendapat lain bahwa globalisasi bisa selaras dengan ketahanan nasional (Sandbu, 2020).
Namun, terlepas dengan penelitian tentang manfaat dan tantangan yang dihadapi globalisasi sebagai suatu konsep, ketimpangan ekonomi merupakan masalah yang harus dihadapi dunia pada saat ini terutama di negara berkembang seperti di Indonesia.
Dalam perkembangan geopolitik dan ekonomi dunia, maka patut dipersiapkan bagaimana strategi Indonesia dalam mengahadapi tantangan dan juga kesempatan dalam menghadapi era deglobalisasi dan decoupling antara China dan Amerika dalam konteks ketahanan nasional.
Mempelajari pertumbuhan ekonomi China di awal 2000, maka penulis membuat sebuah model yang merepresentasikan strategi China untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dalam konteks ketahanan nasional.
Gambar 3. Model Keberhasilan Ekonomi China dalam Konteks Pertahanan Nasional
Berdasarkan hipotesa model di atas, maka dapat ditarik sebuah pemahaman bahwa faktor penentu keberhasilan China dalam konteks pertahanan nasional adalah unsur kepemimpinan, struktur sosial, dan budaya. Adapun pertumbuhan teknologi dan ekonomi merupakan puncak gunung es dari sistem ketahanan nasional China.
Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana ketahanan nasional Indonesia saat ini? Ketahanan nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan baik yang dating dari luar maupun dalam negeri, yang langsung maupun tidak langsung membahayakan integritas, identitas kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mengejar tujuan nasional (Suradinata, 2005).
Berdasarkan Lemhanas, ketahanan nasional dibagi dalam delapan matra, yaitu geografi, demografi, sumber kekayaan alam, ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Pada lokakarya ketahanan nasional, Prof Dadan Umar Daihani dalam presentasinya menyatakan bahwa dua gatra yang mempunya nilai ketahanan terendah adalah: ideologi dan sosial budaya.
Gambar 4. Gatra terendah dalam Indeks Ketahanan Nasional (Dhaihani, 2019; slide 14)
Berdasarkan data di atas dapat jika diselaraskan dengan model hipotesa ketahanan nasional (gambar 3), maka dapat dikatakan fundamental ekonomi dan teknologi Indonesia tidak cukup tangguh dalam menghadapi era deglobalisasi dan perubahan arah ekonomi dunia yang cendrung bersifat mandiri di kaki sendiri (national self sufficient).
Merujuk pada sejarah dan juga kebudayaan Indonesia, para pendiri bangsa menerapkan konsep koperasi sebagai solusi ekonomi berbasis sosial dan kebudayaan yang sudah mengakar di Indonesia. Koperasi adalah usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarkan tolong menolong (Hatta, 1971).
Pengertian koperasi menurut Bung Hatta ini selaras dengan Pasal 33 UUD 1945 di mana disebutkan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama dan asas kekeluargaan. Ada dua unsur penting dalam struktur penting perekonomian sesuai dengan amanat UUD 1945 yaitu usaha bersama dan asas kekeluargaan.
Merujuk pada model hipotesa di atas, maka faktor pendukung ekonomi yang kuat adalah struktur sosial dan budaya. Dalam hal ini struktur sosial dan budaya di Indonesia adalah usaha bersama (gotong royong) dan asas kekeluargaan. Struktur ekonomi Indonesia, pada hakikat nya ditopang oleh tiga pilar yaitu: Badan Usaha Milik Negara (BUMN), sektor swasta, dan koperasi (Fabianus, 2015). Ketiga pilar ini harus seimbang dan tidak boleh saling meniadakan.
Koperasi secara umum dapat dikatakan adalah bagian dari sosial ekonomi dimana bersifat solidarias, partisipasi anggota dan kesetaraan manajemen serta memiliki peran penting dalam pengembangan keadilan sosial (Czternasty, 2014).
Baca Juga: LPDB-KUMKM Cairkan Rp8 M, Koperasi Aceh Ekspor 10 Kontainer Kopi ke Starbucks AS
Dalam penelitiannya, Czternasty mengatakan peranan koperasi di Polandia sangat besar dalam membangun ekonomi dengan cara meningkatnya produk domestik bruto. Hal ini membuat Polandia bisa bertahan dari krisis ekonomi yang terjadi di Eropa barat pada saat itu. Di mana salah satu penyebabnya adalak efek dari globalisasi.
Peranan tersebut dicapai melalui kreasi bersama (co-creation), integrasi yang efektif (effective integration), meningkatkan keberagaman ekonomi (plurasim economy), dan mencegah distengrasi sosial terutama di daerah pedesaan.
Salah bentuk koperasi juga bisa lahir dikarenakan tekanan politik dalam sistem kedikatatoran. Salah contoh yang menarik adalah lahirnya Community Development Bank di Sao Paolo Brazil (Neiva et al, 2013). Walaupun dinamakan dengan Bank, namun pada hakikatnya prinsip yang digunakan adalah koperasi simpan pinjam.
Berdasarkan penelitian Augusto Camara Nieva dari Universitas Sao Paolo Brazil, menyimpulkan bahwa pergerakan koperasi mampu meningkatkan ekonomi pedesaaan lokal dengan nilai-nilai, seperti pengorganisasion ulang ekonomi local (re-organization local economy), solidaritas ekonomi dengan mempromosikan pengembangan daerah dalam konteks organisasi komunitas.
Jika merujuk ke Amerika Serikat, prinsip dasar koperasi juga diterapakan di perusahaan besar melalui program yang disebut employee stock option program atau lebih dikenal dengan ESOP (Ifateyo et al, 2016). Hal yang sama juga dipaparkan Bung Hatta dalam bukunya bahwa ESOP merupakan konsep koperasi di mana perusaahaan akan lebih berat ke manusia (heavy on human) daripada fokus dengan modal (heavy on capital). Koperasi juga mampu memisahkan mana ekonomi ujung dan ekonomi pangkal (Hatta, 1971).
Penelitian lain tentang koperasi juga dilakukan di Srilanka, di mana peranan koperasi sangat besar dalam perkembangan eeknomi pedesaaan di Srilanka melalui bebrapa sektor, yaitu perdagangan eceran, kemasan, pengembangan merek lokal dan pendistribusian produk (ICA Comitte Report, 2008). Walaupun ditemukan beberapa tantangan seperti akuntabilitas dan kompetensi tetapi jelas bahwa koperasi membangun ekonomi dan keterikatan sosial di masyrakat pedesaan.
Merujuk pada referensi lain, penelitian tentang hubungan globalisasi dengan ketahanan nasional dilakukan oleh Derek Armitage pada 2006. Penelitian ini dilakukan pada dua daerah, yaitu Junganad, India dan Banawa Selatan, Sulawesi Indonesia, meyimpulkan bahwa terdapat efek negatif dari globalisasi terhadap ketahanan nasional. Di mana terjadi penurunan ketahanan sosial ekonomi di daerah tersebut. Meningkat tensi hubungan antara nelayan dan korporasi perikanan mengakibat penurunan kemampuan sosial ekonomi dan perusakan lingkungan (Amirtage et al, 2006).
Merujuk pada beberapa luaran penelitian di atas, jelaslah potensi koperasi sebagai pembawa fungsi sosial ekonomi terhadap era deglobalisasi dalam konteks ketahanan nasional Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat. Pada akhirnya para pendiri bangsa telah merumuskannya bahwa perekonomian disusun atas usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan, tapi kita sudah melupakannya.